Berry Herlambang
Juragan "Servis" Jalur Pantura
Itulah salah satu kiprah Berry Herlambang, pemilik dan pengelola Lembaga Pendidikan Teknik Eka Jaya Berrindo di Cirebon, Jawa Barat. Ia tengah bersiap-siap membuka layanan gratis itu di Jalan (By Pass) HR Darsono, Cirebon.
”Beberapa calon pemudik yang pernah kami layani sudah menelepon untuk memastikan apakah layanan gratis itu kembali dibuka,” ujar Berry pekan lalu.
Sebanyak 15-20 pemuda yang dia siapkan untuk misi sosialnya itu adalah para murid terbaik dari lembaga kursus yang diwarisinya dari sang ayah, Haji Eddy Wanili Hardjadinata (76). Sekitar 52 tahun silam, saat sang ayah mendirikan lembaga kursus itu, semangat berbagi dengan sesama selalu ditekankan.
”Berbagi” di sini berarti memberikan peluang kepada anak-anak dari kalangan kurang mampu untuk mengenyam kecakapan dan keterampilan otomotif. Pada tataran yang konkret dan kontekstual, kepada pemudik yang belum mampu pulang kampung dengan mobil, semangat ”berbagi” itu diberikan lewat layanan perbaikan sepeda motor tanpa meminta bayaran.
”Berjalan sejauh ratusan kilometer pastilah mesin motor itu ’kelelahan’ dan perlu dicek demi keselamatan perjalanan. Kami senang bisa membantu orang yang perlu pertolongan,” ujar Berry.
Lewat lembaga pendidikan nonformal yang dikelolanya, Berry menampung lulusan SMP-SMA untuk diberi bekal keterampilan. Uniknya, walau berstatus kursus, lembaga ini tak sekadar menekankan muatan praktis, tetapi juga memberikan wawasan teori seputar otomotif.
Berry juga menerima calon mekanik perempuan. Fatmawati (19), misalnya, karena tak punya biaya, ia mengikuti kejar paket C di Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon. Kondisi ayahnya yang sakit-sakitan lalu meninggal menjadikan Fatmawati tulang punggung keluarga.
”Senang bisa belajar soal rangka dan isi, juga kelistrikan dalam mesin motor dan mobil,” ujar Fatmawati yang sempat bekerja di sebuah bengkel modifikasi mobil di Jakarta.
Untuk menjadi mekanik otomotif andal, peserta didiknya mengikuti empat tahapan. Mereka belajar teori dan praktik di kelas, lalu diminta bedah kasus alias langsung praktik memperbaiki motor atau mobil di lingkungan tempat tinggal masing-masing.
Sekalipun baru belajar, mereka tak bisa main-main sebab hasil kerja mereka dievaluasi. ”Kalau pekerjaan mereka baik, pasti untung karena makin banyak pelanggan bakal ke rumah mereka,” kata Berry.
Setelah itu, peserta yang dinilai mumpuni dibuatkan tempat untuk membuka bengkel gratis selama waktu tertentu di kampungnya. Bengkel gratis bisa dibuka di masjid kampung, kantor desa, atau tanah lapang. Tujuannya, membangun sikap mandiri dan tanggung jawab mereka atas pekerjaan.
Tahap keempat, magang. Setiap calon mekanik harus magang kerja di bengkel swasta. ”Pada tiga tahapan sebelumnya mereka diajari mandiri dan menjadi manajer atas usahanya sendiri. Setelah itu, mereka diajari bagaimana bekerja pada orang lain,” kata Berry.
Berbekal keterampilan otomotif, peserta kursus diharapkan berwirausaha. Hingga kini, dalam usia 52 tahun, Eka Jaya Berrindo sudah mencetak lebih dari 50.000 alumnus mekanik otomotif dan 150.000 alumnus teknik mengemudi.
Berry juga melatih korban gempa dan tsunami di Aceh agar bisa bangkit dengan keterampilan otomotif. Hal serupa dilakukannya untuk korban gempa di Pangandaran, Jawa Barat, dan Yogyakarta.
Pascabanjir melanda Jakarta tahun 2007, sejumlah pemuda Ibu Kota juga mengenyam pembekalan keterampilan ini. Oleh Kementerian Pendidikan Nasional, ia kerap dilibatkan untuk membekali kecakapan otomotif bagi anak-anak penghuni lembaga pemasyarakatan di sejumlah daerah.
Anak-anak dari keluarga miskin yang dulu dibimbingnya banyak yang membuka usaha bengkel sendiri. Misalnya, Iib Muhibah yang menjadi manajer pada showroom otomotif di Cirebon.
Indahnya berbagi
Jiwa sosial Berry sudah terbangun sejak masa kecil. Ia mengenang ibunya, Henny Suwaendah, sebagai sosok yang diteladaninya.
”Saya menunggu Ibu pulang belanja, lalu membantunya membagikan sebagian barang dagangan (bahan pokok) kepada orang yang membutuhkan. Saat orang-orang menerima pemberian itu dan bergembira, saya ikut senang. Di situ saya merasakan indahnya berbagi,” kata anak kelima dari enam bersaudara ini.
Aktivitas Berry di bidang otomotif tak lepas dari peran ayahnya, Eddy Wanili Hardjadinata. Usaha kursus mengemudi dan mekanik bidang otomotif dirintis ayahnya pada 1959 yang ditandai dengan pendirian Eka Jaya di Bandung. Cabang lain kemudian dibuka di Tasikmalaya (1971), Cirebon (1974), dan Garut (1985).
Berry yakin, kehidupan manusia tak pernah lepas dari transportasi. Prinsip itu terilhami oleh kutipan sebuah iklan otomotif: ”Tidak semua anak bercita-cita menjadi diplomat. Tetapi setiap anak pasti memimpikan saatnya ia menjadi seorang pengemudi, tidak hanya seorang calon driver.”
Di benaknya, selama sarana transportasi ada, selama itu pula diperlukan lembaga pendidikan yang membekali calon pengemudi, bagaimana berkendara dengan aman. Sebab, mengemudi bukan asal banting setir atau injak gas. Di sini diperlukan keterampilan, pengetahuan, sikap, dan kebiasaan berlalu lintas yang baik dan benar.
Fakta bahwa kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu ”pembunuh massal” yang mengerikan di negeri ini mendorong Berry terus mengampanyekan standardisasi pendidikan mengemudi aman. Ia memandang standardisasi nasional mutlak agar tidak sembarang orang mengajarkan mengemudi dengan menjanjikan surat izin mengemudi (SIM). Ia menekankan prosesnya, bukan tujuan instan memperoleh SIM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar